Sugeng Rawuh



Mangasah Mingising Budi, Mamasuh Malaning Bumi,Memayu Hayuning Bawana

Saturday, March 3, 2012

DEWARUCI:  PERJALANAN MENUJU SANGKAN PARANING DUMADI


Konon diceritakan bahwa Bima diutus oleh Sang Guru Pandita Drona untuk mencari Banyu Perwitasari yang dapat menyucikan dirinya. Ketika Bima berpamitan kepada saudara-saudaranya di Ngamarta, keempat saudaranya mengingatkan atas siasat licik yang mungkin sedang dipraktekan oleh Pandita Drona guna untuk melenyapkan Bima yang merupakan kekuatan andalan bagi Pandawa. Tetapi Bima tidak dapat dicegah, oleh karena rasa percaya dan penghormatan pada sang guru, akhirnya Bima berangkat juga memulai perjalannya dalam mencari Banyu Perwitasari tersebut. Dalam perjalanan tersebut Bima mulai memasuki Hutan Trikbasara yang terletak di Gunung Reksamuka untuk terlebih dahulu menemukan Kayu Gung Susuhing Angin, dalam usahanya tersebut Bima dihadang oleh dua  raksasa Rukmuka dan Rukmokala, melalui pertarungan sengit akhirnya kedua Raksasa yang merupakan penjelmaan Bathara Indra dan Bathara Bayu tersebut dapat dikalahkan. Selanjutnya Bima juga harus masuk kedalam Samudera Minang Kalbu dimana Banyu Perwitasari itu berada, tetapi sebelumnya Bima juga dihadang oleh Ular Naga dan berhasil di Taklukkannya. Pertemuan dengan Dewaruci merupakan akhir dari kisah tersebut.  Kisah Dewaruci begitu populer dikalangan Masyarakat Jawa, merupakan simbol Perjalanan Spiritual manusia dalam menemukan Kesejatiannya yang berada didalam dirinya. Yang perlu dicermati dalam kisah ini adalah pemberian nama-nama tempat dan berbagai rintangan yang sangat jelas mencerminkan tahap demi tahap yang harus dilalui untuk menemukan Sang Sejati tersebut. Dimulai dari masuknya Bima ke Hutan Trikbasara. Trikba= Prihatin, sedangkan Sara = Penderitaan atau juga berarti Tajamnya Pisau. Berarti tahap yang harus dilalui untuk memulai perjalanan tersebut adalah seseorang yang mau digembleng dalam keprihatinan dan penderitaan untuk selanjutnya mencapai Landeping Rasa. Selanjutnya menemukuan Kayu Gung Susuhing Angin di Gunung Reksamuka. Reksa=Penguasa, Muka= Wajah, berarti harus menemukan Batang besar yang menjadi penguasa diwajah ini sekaligus sebagai sarang (keluar-masuknya) angin, tidak lain itu adalah berbicara tentang Organ Pernafasan (Hidung). Menyadari dan mencermati setiap Nafas yang keluar masuk diri kita (meditasi), juga merupakan bagian dari Olah Rasa untuk menemukan dan bersatu dengan Sang Sejati tersebut, itulah makna dari mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Biasanya pada tahap inilah berbagai godaan Dunia akan muncul untuk menggagalkan Niat seseorang dalam Olah Rasa. Kedua Raksasa Rukmuka dan Rukmokala itulah Godaan selanjutnya. Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini adalah godaan dari kenikmatan makanan dan Rukmokala : Rukmo= Emas atau kemewahan, Kala=Jerat. Godaan yang berasal dari kemewahan Dunia. Sungguh menarik bahwa kedua godaan tersebut yang ternyata selalu menjadi penghalang terbesar bagi manusia dalam menemukan Sang Hidup, sehingga tidaklah heran jika Yesus Kristus sebelum memulai karyanya kembali dicobai dengan kedua godaan tersebut ketika berada di Padang Gurun selama 40 hari. Kedua godaan yang bersumber dari hati manusia sendiri dan berbagai ambisi dan obsesi sehingga digambarkan kedua Raksasa tersebut merupakan penjelmaan Bathara Indra (hati manusia) dan Bathara Bayu (ambisi dan obsesi).  Bila tahap tersebut berhasil dilalui tahap berikutnya adalah masuk ke dalam Samudera Minangkalbu, Samudera menggambarkan sesuatu yang jembar (luas), orang Jawa selalu menggunakan kata Samudera untuk menggambarkan seseorang yang sabar (Ati Jembar Segara) juga untuk menggambarkan seseorang yang selalu mengampuni (Samudera Pangaksami), juga bisa bermakna seseorang yang selalu masuk dalam keheningan batin (Tapa Ngrame). Disinilah biasanya godaan terbesar akan muncul dan berusaha menggagalkan seseorang dalam Laku Tapa itu. Ular Naga menggambarkan sifat Ke-Akuan dan Ego yang berusaha untuk "Membelit" dan mencengkeram manusia untuk tetap berada dalam kuasanya.  Hanya Bima dengan senjata Kuku Pancanaka yang dapat mengalahkan Naga tersebut. Kuku=kukuh, teguh  Panca=Lima..Naka= Ular atau Nafsu. Bima sudah dapat menggenggam dan menundukkan sepenuhnya ke-5 nafsu yang ada pada Dirinya, dan itulah senjata yang ampuh untuk menundukkan Ego yang ada pada dirinya. Hingga akhirnya Bima mampu menemukan dan bersatu dengan Kesejatiannya sendiri, pada tahap ini kiranya  tidak ada lagi yang perlu diceritakan , karena hal itu adalah pengalaman masing-masing pribadi. Yang justeru penting untuk di cermati adalah tahap demi tahap yang harus dilalui untuk menuju kearah itu, dan untuk menuju Sangkan Paraning Dumadi bukanlah proses yang mudah dan cepat karena diperlukan sikap yang pantang menyerah, ketegasan dan kedisiplinan serta tekad yang kuat. Tidaklah heran jika Tokoh untuk menggambarkan kisah ini adalah Bima yang identik dengan sifat-sifat diatas, bukan Yudhistira, Arjuna , maupun Nakula dan Sadewa...Tetapi Bima lah yang kiranya tepat untuk mendapatkan Ngelmu Kasampurnan itu. Kepolosan dan keluguan, Tekad yang kuat, Pantang menyerah dan Teguh dalam Niat sangat-sangat diperlukan dalam Laku Spiritul ini. Kiranya ini yang dapat saya sampaikan mengenai Lakon Dewaruci, semoga apa yang saya sampaikan ini paling tidak membawa manfaat walaupun sedikit bagi hidup kita semua.......RAHAYU
LABUHAN :  WUJUD SYUKUR ATAS KEMURAHAN ALAM

Pada masyarakat Jawa, sering kita jumpai Ritual Upacara Labuhan, yaitu Upacara dimana disitu diadakan pemberian sesaji dan doa-doa. Biasanya Upacara tersebut diadakan di Laut dan di Gunung. Sekilas bila kita menyaksikan Hal itu, sepertinya Kegiatan tersebut merupakan bentuk Pemujaan dan Penyembahan terhadap Obyek dimana diselenggarakan Upacara tersebut, menurut saya ada suatu pesan yang sangat dalam tentang kegiatan tersebut. Ajaran Jawa mengajarkan bahwa segala yang ada di Bumi ini adalah sesuatu yang hidup, mereka juga sama-sama sebagai penghuni semesta ini, laut, gunung, hutan, pepohonan dan hewan di pandang sebagai Sahabat untuk bersama-sama saling menjaga dan menghormati. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia, bukan serta merta menguasai dan mengeksploitasi alam ini dengan sak karepe dewe (semaunya sendiri), justeru manusia sebagai  ciptaan tertinggi diharapkan mampu menjadi koordinator berlangsungnya kehidupan di bumi ini. Ajaran Jawa juga mengajarkan bahwa alam ini selalu menopang dan senantiasa memberikan kehidupan dan penghidupan bagi manusia yang tinggal didalamnya, maka sudah semestinya bahwa manusia yang tinggal di dalamnya tersebut selalu menjaga dan melestarikan alam ini, bukannya malah mengambil keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan sendiri. Salah satu bentuk ucapan syukur dan berterima kasih tersebut di manifestasikan dalam bentuk Upacara Labuhan, bagi masyarakat yang tinggal di lereng-lereng gunung, mereka menyadari bahwa alam ini telah bermurah hati dalam memberikan kesuburan bagi sawah ladang mereka, dan ternak-ternak mereka senantiasa tidak akan pernah kekurangan pakan alami. Demikian juga bagi masyarakat yang tinggal didaerah pesisir dan laut, bagi mereka laut merupakan sumber penghidupan dalam mereka mencari nafkah. Upacara Labuhan bukan berarti bahwa manusia memuja dan menyembah "sing mbahurekso" kawasan tersebut. Pemberian nama penguasa (Sing Mbaurekso) bagi daerah tertentu, bertujuan untuk memudahkan bagi para leluhur dan nenek moyang kita dalam mereka mengajarkan tentang hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam ini. Sumber dari segala rejeki yang diterima oleh manusia adalah sepenuhnya dari Sing Gawe Urip (Tuhan), tetapi apabila rejeki tersebut sampai kepada kita melalui perantaraan pihak lain, bukankah sudah sepatutnya kita berkewajiban mengucapkan terima kasih pada pihak lain tersebut yang dalam hal ini adalah alam itu sendiri. Jadi sebenarnya Upacara Labuhan tersebut adalah perwujudan manusia dalam mengucap syukur pada Sang Empunya Kehidupan atas segala rejeki yang telah diterima juga sebagai ucapan terima kasih manusia pada alam ini sebagai "Kepanjangan Tangan Tuhan". Dan ucapan terima kasih tersebut tidak hanya diucapkan dari bibir saja, melainkan diwujudkan dengan tindakan yaitu berupa pemberian Buah Tangan dari manusia. Layaknya seorang sahabat yang sedang berkunjung ke rumah temannya. Itulah secuil gambaran dari saya tentang Tradisi Upacara Labuhan ini............RAHAYU.

Friday, March 2, 2012

BANCAKAN: SARANA MENGENAL DIRI dan TUHAN

Dalam Masyarakat Jawa umumnya tidak asing lagi dengan bentuk Tradisi seperti ini. Di jaman sekarang ini ditambah dengan majunya teknologi banyak Orang Jawa yang mulai meninggalkan Tradisi Bancakan seperti ini, Bagi orang2 yang sudah terbiasa dengan "Akal Logika", kiranya akan sedikit tidak mengerti apa  maksud dari semua ini, seringkali Tradisi seperti ini dianggap sebagai Bentuk pemujaan terhadap Roh-roh Gaib. Padahal sebetulnya makna yang terkandung dari Tradisi Bancakan ini sungguh sangat Luhur dan Tinggi. Sungguh menarik karena sejak dulu kala Para nenek moyang dan Leluhur, dalam menyampaikan Petuah dan Ajaran tentang Hidup ini tidaklah ditulis pada selembar kertas,melainkan menggunakan apa yang ada di Alam ini sebagai sarananya (Bunga,Buah,Ayam,Air, Dll). Karena bagi Ajaran Jawa, Alam ini (Jagad Kang Gumelar) merupakan "Ayat-ayat Kehidupan" dari Sang Hidup itu sendiri. Dalam Tradisi Bancakan Ubarampe yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.Tujuh Macam Sayuran: kacang panjang dan kangkung , kubis, kecambah/tauge yang panjang, wortel,  daun kenikir, bayam, dll bebas memilih yang penting jumlahnya ada 7 macam. Mengapa harus berjumlah 7? Tujuh macam sayuran (Jawa:Pitu), merupakan simbol harapan akan adanya Pitulungan (pertolongan ) dari Tuhan. Kacang panjang dan kangkung haruslah tetap apa adanya (tidak diiris), sebagai simbol panjang rejeki, panjang umur, panjang usus (sabar), panjang akal..
2.Telur Ayam: Juga berjumlah 7 atau 11. Tujuh sebagai simbol (Pitulungan) dan sebelas sebagai simbol (Kawelasan). Telur merupakan asal muasal terjadinya Makhluk Hidup, dengan adanya telur dalam ubarampe Bancakan, diharapkan Manusia selalu Eling Sangkan (Ingat akan asal muasalnya). Dalam pewayangan Telur juga melambangkan proses terjadinya Dunia ini.
3. Gudangan (Urap): Bisa dibuat pedas maupun tidak. Untuk Bancakan usia 8 tahun keatas biasanya dibuat bumbu Pedas. Sebagai perlambang bahwa di usia tersebut seorang Manusia sudah mulai merasakan Pahit,manis dan Getir serta pedasnya Kehidupan ini untuk menuju kepada Kedewasaan. Di usia tersebut seorang anak sudah mulai melakukan sosialisasi untuk menjadi Pribadi-pribadi yang mumpuni, pinunjul dan Bermanfaat bagi kehidupan ini.
4.Umbi-umbian: 1) polo gumantung (umbi yang tergantung di pohon misalnya; pepaya), 2) polo kependem (tertaman dalam tanah) misalnya telo (singkong), 3) polo rambat atau yang merambat misalnya ubi jalar.  4) kacang-kacangan bisa diwakili dengan kacang tanah. Semuanya direbus kecuali papaya. 
5.Pisang Raja: Pisang memiliki Filosofi yang tinggi bagi Masyarakat Jawa. Kita diharapkan selalu belajar dari Pohon Pisang yang memiliki keunikan Tidak akan mati sebelum berbuah dan selalu berbuah walau ditanam dimanapun juga.
6.Nasi Tumpeng:  nasi tumpeng sebagai wujud doa, sekaligus gambaran keadaan Dunia inii. Segala macam dan ragam yang ada di dunia ini adalah Bersumber dari Yang Satu. Dilambangkan sebagai tumpeng berbentuk Kerucut di atas. Makna lainnya yaitu bahwa segala macam Doa merupakan upaya sinergisme kepada Tuhan. Oleh sebab itu, dibagian bawah Tumpeng berbentuk lebar dan besar, semakin keatas semakin kerucut hingga bertemu dalam satu titik. Satu titik itu menjadi pucuk atau  penyebab dari semua yang ada (causa prima) melambangkan Tuhan yang menjadi Pusat dari segala Episentrum
7.Cabe Merah : Cabe ditancapkan vertikal dan Horisontal diatas Tumpeng sebagai perlambang Gairah dan Semangat Manusia untuk menggapai Pengenalan dan Kemanunggalan dengan Sang Hidup (Vertikal), serta Hubungan Manusia dengan segala Makhluk di Bumi ini (Horisontal). Kiranya itu dulu yang dapat kami sampaikan, semoga apa yang ada ini paling tidak dapat memberi "sedikit" manfaat bagi kita semua..Sebetulnya masih banyak Uba Rampe dalam Tradisi Bancakan yang masih perlu untuk kita pelajari, Lain waktu kita sambung lagi........RAHAYU

Thursday, March 1, 2012


WAYANG :MENGGAPAI KESADARAN SEJATI





 Dalam Masyarakat Jawa dikenal berbagai macam jenis Wayang,diantaranya Wayang Purwa atau wayang kulit, wayang klithik yang terbuat dari kayu pipih, wayang Golek yang terbuat dari Kayu dan Wayang Wong. Dalam Bahasa Jawa wayang yang berarti adalah "Bayangan", merupakan cerminan dari  seluruh Sifat dan Karakter yang ada pada diri Manusia, seperti sifat Dur Angkara dan juga sifat2 yang baik dan Bermanfaat bagi Kehidupan ini.Pada suatu pagelaran
Wayang Kulit tokoh-tokoh Wayang yang memiliki sifat-sifat sebagai ksatria pembela Kebajikan dan Kebenaran di letakkan atau dijajar di sebelah KIRI, sedangkan untuk Tokoh Wayang yang bersifat Jahat atau Dur Angkara di letakkan di sebelah KANAN.Mengapa demikian?..Ini tidak lain disebabkan karena Cara menonton Pagelaran Wayang Kulit yang BENAR adalah Dari Balik Layar (Belakang).Wayang merupakan Alat yang telah lama dipakai oleh para Leluhur Jawa untuk Mengajarkan tentang Laku Kasampurnaning Urip (Kesempurnaan Hidup), seluruh Tokoh Wayang yang ada merupakan Gambaran dari satu manusia, artinya bahwa dalam setiap Diri Manusia terdapat Dualisme antara sifat-sifat yang baik dan tidak Baik, yang kesemuanya Berpangkal pada Diri Manusia untuk Memilih Sifat mana yang akan dipilih dan dimenangkan, bukankah dalam diri manusia..Bagaimana baiknya dia masih menyimpan sifat-sifat seperti Iri dengki, Ingin menang sendiri, ingin selalu Hidup Nyaman. Nanti pada akhirnya setiap Manusia akan berbeda-beda dalam Membangun Kualitas Dirinya sesuai dengan Tingkat Kesadaran yang ada pada Diri Manusia itu sendiri, dan Wayang merupakan satu Alat bagi manusia untuk "Ngonceki" (untuk memilah) semua Sifat dan Karakter yang ada pada Dirinya, untuk selanjutnya Mengetahui mana yang sebaiknya digunakan, mana yang tidak bermanfaat bagi Dirinya, dan dapat Bersikap dengan "Pas" dalam menghadapi segala Persoalan Hidup (Empan Papan). Wayang merupakan Alat bagi manusia Jawa dalam menuju "Sangkan Paraning Dumadi".Untuk Mengenal KESEJATIAN yang ada pada dirinya. Wayang biasanya di pentaskan pada malam hari sebagai Gambaran bahwa saat itu Manusia sedang menghadapi Persoalan Hidup (digambarkan sebagai gelap) dan berakhir pada Waktu Fajar juga sebagai Gambaran bahwa "Lakon" persoalan Hidup Manusia telah menemukan Pencerahan (terang).
KIDUNG DOA UNTUK NUSANTARA TERCINTA
(Dhandhanggula)

Adhuh Gusti Panguasaning Bumi
Pra kawula hanandhang Cintraka
Sru sanget ing Panlangsane
Awit bebaya Lindhu
Lahar panas Redi Mrapi
Bebaya Banjir Bandhang
Siti Jugrug Lesus
Hanrajang sadengah Papan
Wonten Ing Tlatah Nuswantoro Puniki
Bosah baseh sedaya


Sagung Titah Sru Hanandhang Kingkin
Tanpa daya Mambengi Rubeda
Kang Metel mring Jiwanggane
Jiwa Raga Hanglayung
Sambat-sambat Hamelas Ati
Wismanya Rebah Rata
Bandha donya Mamprung
Kulowargo Tekeng Laya
Tan Kapetang Kawula kang Nandhang Sakit
Sru sanget Lara Raga


Adhuh Gusti Ingkang Maha Asih
Mugi Karsa paring Sih Wilasa
Enggal nyirep Kahanane
Pinaringan Rahayu
Gesang Ing Karaharjan Yekti
Kalis saking Rubeda
Twin Duhkiteng Kalbu
Tumuju ing Kasantosan
Tumraping Bumi Nuswantoro sayekti
Dhuh Gusti  Kapirengna